Arogansi dan Barbarianisme Politik

- 7 Oktober 2020, 15:01 WIB
Faisal Zaky Mubarok   Ketua Bidang PTKP Badko HMI Jawa Barat
Faisal Zaky Mubarok Ketua Bidang PTKP Badko HMI Jawa Barat /Istimewa

Gelombang penolakan terhadap UU yang baru disahkan mendapat penolakan yang cukup besar; mulai buruh sebagai elemen yang paling terdampak langsung oleh UU ini hingga mahasiswa sebagai agen social-control. Setidaknya gelombang penolakan ini menandakan sebuah penolakan terhadap UU yang dimaksud. Selain ini menandakan sebuah wajah kekecewaan mereka atas arogansi politik yang mengabaikan kepentingan publik. Omnibuslaw sebagaimana dikaji dalam narasi akademik jelas merugikan semua golongan dan akan mengancam atas keberlangsungan lingkungan, Hak Asasi Manusia (HAM) secara terus menerus.

DPR sebagai legislator kini jelas tidak lagi berpihak secara akomodatif terhadap konsituennya; singkat cerita DPR telah gagal menjadi penyambung lidah rakyat. Ia malah lebih pantas disebut sebagai lembaga penghianat rakyat. Di saat rakyat membutuhkan uluran tangan dari pada wakilnya, ia malah lebih mementingkan eskalasi investasi dari pihak asing.

Barbanianisme hari ini jelas terjadi pada pemerintah dan DPR. Bertindak secara sepihak, mengabaikan suara mayoritas. Hanya mementingkan sekelompok elite yang memiliki modal (kapital) yang tidak kecil. Arogansi politik juga terlihat jelas secara nyata tersaksikan oleh publik; DPR diam-diam membahas UU ini dan dikabarkan telah disahkan tanpa pertimbangan jadwal yang cukup matang.

Arogansi politik nyata dan jelas terbukti, seorang legislator yang berupaya mengemukakan pendapatnya ditolak ketua DPR dengan cara mematikan tombol speaker. Padahal secara prinsip, DPR seharusnya berbicara; menyampaikan pendapatnya secara jelas, rinci, merdeka dan dapat dipahami. Karena parlemen itu secara bahasa adalah bicara maka setidaknya, hematnya, yaitu berbicara setelah mendengarkan masukan dan saran dari pada pemilik suara sesungguhnya (masyarakat)

Eskalasi Politik Kita

Eskalasi politik kita hari ini tidak benar-benar lagi menaruh perhatian untuk kepentingan publik sebagai asas yang paling fundamental. Padahal seharusnya DPR dan pemerintah mencoba membuka mata secara jelas yang mesti diprioritaskan dan diberikan untuk rakyat; bukan mengarah pada satu kekuatan yang cenderung dikuasai oleh segelintir orang (oligarki)

7 dari 9 Fraksi di DPR menyatakan mendukung dan mengesankan RUU ini menjadi produk Undang-Undang yang berdalih mengatasnamakan rakyat secara umum. Bagi mereka yang menolak,  mereka menyuarakan dan berdalil atas nama rakyat. Lantas yang dimaksud rakyat seperti apa dan seperti bagaimana?

Sedikitnya, pernah terbesit dalam pikiran, mungkin ada salah satu anggota yang benar-benar sayang dan peduli terhadap rakyat tanpa terkecuali. Tapi apa boleh buat, dia (anggota) dikelilingi dan diikat oleh fraksi yang terkoneksi secara langsung dengan partai politik penentu arah dan kebijakan institusi nasional kita. Sehingga tidak heran lagi power ketua umum partai menjadi penentu untuk kebijakan-kebijakan yang eksis di hadapan kita.

Mungkinkah UU Omnibuslaw ditandatangani Presiden?

UU Omnibuslaw telah diketuk dan disahkan oleh DPR. Artinya UU tinggal ditandatangani oleh presiden. Jika tanpa tandatangan presiden pun, UU ini secara otomatis sah dan dapat menjadi rujukan, dasar atau pijakan atas hal-hal tertentu.

Di atas, ditandatangani atau tidak secara konstitusi menyatakan Undang-Undang akan sah dan dapat digunakan menjadi rujukan dan dasar hukum. Berbeda dengan UU KPK yang terbaru; yang tidak ditandatangani oleh presiden dan akhirnya sah dan dapat dijadikan pijakan hukum. Ketika Presiden tidak menandatangani UU sebagaimana dimaksud artinya presiden memilih mengatakan setuju tanpa campur tangan. Atau dalam kata lain lebih memilih jalan tengah. Resiko menandatangani artinya akan dibenci tanpa henti, bahkan kehilangan pendukung “rasionalnya”.

Halaman:

Editor: Iing Irwansyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Arogansi dan Barbarianisme Politik

7 Oktober 2020, 15:01 WIB

42 Tahun FKPPI

14 September 2020, 14:05 WIB

Dilema Pembalajaran di Masa Pandemi

7 September 2020, 13:14 WIB

Begini Cara GPII Membumikan Pancasila

11 Agustus 2020, 16:39 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah