Arogansi dan Barbarianisme Politik

7 Oktober 2020, 15:01 WIB
Faisal Zaky Mubarok Ketua Bidang PTKP Badko HMI Jawa Barat /Istimewa

 

Oleh : F. Zaky Mubarok Ketua Bidang PTKP HMI Badko Jabar

PANDEMI Covid-19 masih menjadi isu yang akurat belakangan ini—yang secara penanganannya belum pada tahap simpulan berhasil. Banyak pihak yang mencoba menyimpulkan penanganan pandemi Covid-19 belum berhasil menekan angka penyebaran hingga kematian. Belakangan informasi menyoal data ketersebaran mencuat dan melambung tinggi melebihi dari angka fase awal kemunculan Covid-19 di Indonesia.

Belum tuntas penanganan Pandemi Covid-19; pemerintah beserta DPR membagi lokus perhatiannya kepada sektor lain. Sebut saja Pilkada serentak yang hari ini memunculkan spectum penolakan oleh berbagai lapisan elemen masyarakat.

Selain Pilkada, ternyata pemerintah bersama DPR menaruh perhatian lain dalam bidang perekonomian. Alih serta dalih bermunculan mengatasnamakan penanganan dan pemulihan ekonomi nasional yang baik di tengah pandemi Covid-19 yang sangat menyita pada satu sektor terpenting ini (ekonomi).

Baca Juga: Fahri Hamzah Kritik DPR Soal UU Cipta Kerja, Netizen Kritik Balik

Sebahagian kelompok, sebut saja namanya mawar, mengungkapkan fakta akibat pandemi; jumlah pengangguran banyak, gelombang PHK secara besar-besaran menerpa para karyawan dan buruh secara umum akibat pandemi Covid-19 yang sedang terjadi. Mawar beranggapan solusi mengatasi itu semua dengan cara merancang satuan Undang-Undang yang dianggap memihak secara kooperatif kepada ekonomi yang lebih baik—yang lebih akrab disebut dengan Undang-Undang cipta kerja (omnibuslaw)

Kelompok lain beranggapan bahwa anggapan di atas tidak bisa dibenarkan atas dasar pertimbangan apa pun. Dalam berbagai tanggapan yang muncul hasil kajian yang cukup matang menyimpulkan bahwa UU Ciptakerja sangat merugikan banyak pihak. Sehingga mesti ditinjau ulang dan dibatalkan secara hukum.

Menolak Undang-Undang

Gelombang penolakan terhadap UU yang baru disahkan mendapat penolakan yang cukup besar; mulai buruh sebagai elemen yang paling terdampak langsung oleh UU ini hingga mahasiswa sebagai agen social-control. Setidaknya gelombang penolakan ini menandakan sebuah penolakan terhadap UU yang dimaksud. Selain ini menandakan sebuah wajah kekecewaan mereka atas arogansi politik yang mengabaikan kepentingan publik. Omnibuslaw sebagaimana dikaji dalam narasi akademik jelas merugikan semua golongan dan akan mengancam atas keberlangsungan lingkungan, Hak Asasi Manusia (HAM) secara terus menerus.

DPR sebagai legislator kini jelas tidak lagi berpihak secara akomodatif terhadap konsituennya; singkat cerita DPR telah gagal menjadi penyambung lidah rakyat. Ia malah lebih pantas disebut sebagai lembaga penghianat rakyat. Di saat rakyat membutuhkan uluran tangan dari pada wakilnya, ia malah lebih mementingkan eskalasi investasi dari pihak asing.

Barbanianisme hari ini jelas terjadi pada pemerintah dan DPR. Bertindak secara sepihak, mengabaikan suara mayoritas. Hanya mementingkan sekelompok elite yang memiliki modal (kapital) yang tidak kecil. Arogansi politik juga terlihat jelas secara nyata tersaksikan oleh publik; DPR diam-diam membahas UU ini dan dikabarkan telah disahkan tanpa pertimbangan jadwal yang cukup matang.

Arogansi politik nyata dan jelas terbukti, seorang legislator yang berupaya mengemukakan pendapatnya ditolak ketua DPR dengan cara mematikan tombol speaker. Padahal secara prinsip, DPR seharusnya berbicara; menyampaikan pendapatnya secara jelas, rinci, merdeka dan dapat dipahami. Karena parlemen itu secara bahasa adalah bicara maka setidaknya, hematnya, yaitu berbicara setelah mendengarkan masukan dan saran dari pada pemilik suara sesungguhnya (masyarakat)

Eskalasi Politik Kita

Eskalasi politik kita hari ini tidak benar-benar lagi menaruh perhatian untuk kepentingan publik sebagai asas yang paling fundamental. Padahal seharusnya DPR dan pemerintah mencoba membuka mata secara jelas yang mesti diprioritaskan dan diberikan untuk rakyat; bukan mengarah pada satu kekuatan yang cenderung dikuasai oleh segelintir orang (oligarki)

7 dari 9 Fraksi di DPR menyatakan mendukung dan mengesankan RUU ini menjadi produk Undang-Undang yang berdalih mengatasnamakan rakyat secara umum. Bagi mereka yang menolak,  mereka menyuarakan dan berdalil atas nama rakyat. Lantas yang dimaksud rakyat seperti apa dan seperti bagaimana?

Sedikitnya, pernah terbesit dalam pikiran, mungkin ada salah satu anggota yang benar-benar sayang dan peduli terhadap rakyat tanpa terkecuali. Tapi apa boleh buat, dia (anggota) dikelilingi dan diikat oleh fraksi yang terkoneksi secara langsung dengan partai politik penentu arah dan kebijakan institusi nasional kita. Sehingga tidak heran lagi power ketua umum partai menjadi penentu untuk kebijakan-kebijakan yang eksis di hadapan kita.

Mungkinkah UU Omnibuslaw ditandatangani Presiden?

UU Omnibuslaw telah diketuk dan disahkan oleh DPR. Artinya UU tinggal ditandatangani oleh presiden. Jika tanpa tandatangan presiden pun, UU ini secara otomatis sah dan dapat menjadi rujukan, dasar atau pijakan atas hal-hal tertentu.

Di atas, ditandatangani atau tidak secara konstitusi menyatakan Undang-Undang akan sah dan dapat digunakan menjadi rujukan dan dasar hukum. Berbeda dengan UU KPK yang terbaru; yang tidak ditandatangani oleh presiden dan akhirnya sah dan dapat dijadikan pijakan hukum. Ketika Presiden tidak menandatangani UU sebagaimana dimaksud artinya presiden memilih mengatakan setuju tanpa campur tangan. Atau dalam kata lain lebih memilih jalan tengah. Resiko menandatangani artinya akan dibenci tanpa henti, bahkan kehilangan pendukung “rasionalnya”.

RUU omnibuslaw secara mendasar bersumber dari pemerintah. Artinya kemungkinan besar UU ini akan ditandatangani oleh presiden sebagai simbol dari negara. Bila tidak ditandatangani justru akan terkesan lucu. Menandatangani atau tidak dalam konteks ini sebenarnya bukan solusi—malah mendatangkan gelombang tanya yang tidak akan menyelesaikan masalah yang sedang  terjadi.

Bagaimana UU Omnibuslaw dibatalkan?

Protes penolakan UU omnibuslaw disuarakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Gelombang penolakan ini setidaknya memberikan pemahaman bahwa masyarakat tidak setuju terhadap UU yang disahkan secara sepihak oleh DPR tanpa memperhatikan suara masyarakat sebagai legitimasi yang paling utama.

Setidaknya ada dua jalur formal (hukum) yang bisa untuk menolak UU yang telah disahkan; 1. JR Ke MK yang dilakukan oleh elemen masyarakat profesional melalui prosedur hukum yang berlaku, 2. Perppu; bisa dikeluarkan presiden untuk membatalkan UU yang disahkan oleh DPR dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial yang tidak stabil, atau dalam kata lain ada situasi yang memaksa dan mengancam stabilitas nasional baik secara langsung atau tidak langsung

Menyoal Perppu, setidaknya merupakan solusi yang diharapkan masyarakat. Kendati begitu, Perppu nampaknya kemungkinan besar tidak akan dikeluarkan oleh pemerintah; karena melihat pemerintah mempunyai keinginan serius untuk mensukseskan berjalannya UU Omnibuslaw yang tengah ramai dibahas ini.

Pandangan politis yang bisa dijadikan acuan besar untuk menerbitkan Perppu adalah bertumpu pada tingkat kepercayaan masyarakat luas kepada pemerintah. Jika pemerintah mengeluarkan Perppu artinya tingkat kepercayaan publik akan meningkat seiring berjalannya waktu di tengah kekecewaan Masyarakat luas kepada DPR sebagai instansi yang berwenang membuat UU. Tetapi Perppu nampaknya kecil kemungkinan untuk dikeluarkan oleh pemerintah dengan memperhatikan berbagai analisis yang ada.

Ketika Perppu tidak dikeluarkan maka yang dimaksud kegentingan yang memaksa sebagai pra-syarat terbitnya Perppu lantas seperti apakah dan bagaimana? Gelombang penolakan melalui demonstrasi tengah terjadi di berbagai daerah—rasanya hal ini cukup mewakili dan masuk pada definisi “kegentingan yang memaksa”. Rasanya tidak elok bila dalam gelombang aksi demonstrasi ada korban yang berjatuhan terkapar kaku. Bahkan ketika dibandingkan dengan Perppu ormas yang dikeluarkan oleh pemerintah, justru Perppu untuk UU KPK dan Omnibuslaw sudah cocok dan mewakili dari pada syarat yang dimaksud.

Jika Perppu tidak dikeluarkan pemerintah berarti tinggal hanya satu jalan, yaitu Judicial Review (JR) di hadapan hakim konstitusi yang konsisten membela kepentingan konstituen (Rakyat). Masyarakat berjuang menggunakan jalur konstitusi secara mandiri dengan cara mengajukan penolakan atas pasal atau UU secara umum untuk diberikan suatu putusan.

Perkara ini setidaknya memberikan kesan yang tidak kalah menarik. Ketika pemerintah tidak mengeluarkan Perppu arinya pemerintah secara langsung tidak menghawatirkan dengan kondisi yang sedang terjadi. Maka kesan yang dapat diambil bahwa pemerintah ikut mendukung terhadap UU yang dimaksud dan ketika rakyat melakukan JR artinya masyarakat luas akan beranggapan bahwa mereka kecewa terhadap DPR dan sekaligus kepada pemerintah—atau dalam bahasa yang cukup mewakili bahwa masyarakat tidak lagi percaya kepada dua institusi yang disebutkan di atas.

Ketika putusan JR dinyatakan UU Omnibuslaw dibatalkan dan ditolak secara hukum artinya masyarakat merayakan kemenangannya dengan caranya sendiri. Demikian jika JR tertolak, anggapan masyarakat tidak lagi percaya kepada siapa-siapa kecuali dirinya sendiri.***

Editor: Iing Irwansyah

Tags

Terkini

Arogansi dan Barbarianisme Politik

42 Tahun FKPPI

Dilema Pembalajaran di Masa Pandemi

Begini Cara GPII Membumikan Pancasila

Terpopuler