"Sering dan meluas," kata sejarawan Ben Schoenmaker dari Institut Sejarah Militer Belanda, satu dari lebih dari dua lusin akademisi yang berpartisipasi dalam aksi tersebut.
"Politisi yang bertanggung jawab menutup mata terhadap kekerasan ini, seperti halnya otoritas militer, sipil dan hukum: mereka membantunya, mereka menyembunyikannya, dan mereka menghukumnya hampir atau tidak sama sekali," katanya.
Baca Juga: PCNU Sumedang Buka Kedai Kopi
Dikatkan dia sekitar 100 ribu orang Indonesia tewas sebagai akibat langsung dari perang dan meskipun persepsi konflik telah berubah di Belanda. Pemerintah Belanda tidak pernah sepenuhnya memeriksa atau mengakui ruang lingkup tanggungjawabnya.
Pada tahun 1969 pemerintah Belanda menyimpulkan bahwa pasukannya secara keseluruhan telah berperilaku benar selama konflik, tetapi mengakui pada tahun 2005 bahwa mereka berada di sisi sejarah yang salah.
Pada Maret 2020, saat berkunjung ke Indonesia, Raja Willem-Alexander menyampaikan permintaan maaf yang mengejutkan atas kekerasan yang dilakukan Belanda.
Pemerintah kemudian menawarkan kompensasi 5 ribu euro atau Rp 81.490.413 (kurs 1euro=16.298,08) kepada anak-anak Indonesia yang telah dieksekusi selama konflik setelah penyelesaian tahun 2013 dengan janda dari satu pembantaian terkenal, di desa Ragawede pada tahun 1947.
Rutte mengulangi pada hari Kamis bahwa tawaran Belanda untuk menyelesaikan klaim kompensasi tetap terbuka.
Studi tersebut menemukan bahwa pemerintah mengirim tentara pada misi yang mustahil tidak dilatih dengan baik. Beberapa kemudian terlibat dalam tindakan penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum dan penggunaan senjata yang tidak proporsional.