"KPK ini punya satu kekuatan moral lain yang disebut kolektif kolegial, jadi itu yang dilupakan oleh pimpinan KPK, yang dilupakan oleh presiden," terangnya.
"Bahwa kekuatan moral itu, membeku menjadi gumpalan energi akhirnya. Mulai dari 75 orang merasa tidak jujur kalau dipisahkan dengan teman-teman lainnya," bebernya.
Pada akhirnya, energi moral tersebut akan berkonsolidasi menjadi sebuah penghormatan terhadap yang tidak dilantik. Sebab, mereka mengetahui adanya diskriminasi terhadap pegawai KPK lainnya.
"Mereka yang dilantik itu merasa tidak adil kalau yang lain hanya menonton. Keutuhan itu lebih besar jumlahnya dari sekedar jumlah anggota bagian-bagiannya," tuturnya.
Sehingga apabila ada pihak-pihak yang menyebut penolakan hanya dilakukan segelintir pegawai KPK, justru hal tersebut menurutnya salah.
Pasalnya, Rocky meyakini seluruh pegawai KPK termasuk masyarakat sipil di Indonesia menginginkan adanya solidaritas yang menguatkan moral lembaga antirasuah tersebut.
"Ini ukuran moral terakhir, dan presiden sampai sekarang gak mau ngomong apa-apa. Padahal pak Firli sendiri nunggu sinyal dari presiden, dia mau ngapain," kata Rocky.
"Saya anggap to be or not to be, mau lanjut atau enggak bangsa ini," tegas dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) tersebut.