Fraksi PKS dan Demokrat Tolak RUU Cipta Kerja, Ini Alasannya

4 Oktober 2020, 15:46 WIB
Anggota Baleg DPR RI Fraksi PKS Ledia Hanifa Amaliah, Instagram/@ledia_hanifa /

AKSARAJABAR- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Demokrat menolak Rancangan Undang- Undang Cipta Kerja dalam rapat kerja Badan Legislasi DPR yabg di gelar pada Sabtu malam 3 Oktober 2020.

Dalam rapat tersebut dihadiri oleh pemerintah bersama DPD RI dengan agenda penganmbilan keputusan Tingkat I terkait RUU Cipta Kerja.

Rapat tersebut disetujui oleh 7 Fraksi dan ditolak oleh dua fraksi.

Baca Juga: Menang Telak Leipzig Puncaki Kompetisi Bundesliga

Dikutip Aksara Jabar dari Antara, Baleg DPR Fraksi PKS (FRKS) Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan bahwa pihaknya menolak RUU Cipta Kerja ditetapkan sebagai Undang-Undang (UU).


"Berdasarkan berbagai pertimbangan yang kami sampaikan, Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang," kata Ledia pada Raker tersebut.

 

Lebih lanjut Ledia mengatakan, F-PKS menyadari substansi pengaturan yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja memiliki implikasi yang luas terhadap praktik kenegaraan dan pemerintah di Indonesia.

Menurutnya banyak hal yang harus dipertimbangkan.

Ledia juga menjelaskan terdapat beberapa catatan F-PKS DPR terkait RUU Cipta Kerja.


Pertama, F-PKS memandang pembahasan RUU Cipta Kerja pada masa pandemi Covid-19 menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan, koreksi, dan penyempurnaan terhadap RUU tersebut.

Kedua, lanjutnya banyak muatan dalam RUU Cipta Kerja itu yang seharusnya disikapi dengan kecermatan dan kehati-hatian.

"Pembahasan DIM yang tidak runtut dalam waktu yang pendek menyebabkan ketidakoptimalan dalam pembahasan. Padahal undang-undang ini memberikan dampak luas bagi banyak orang, bagi bangsa ini," ujar Ledia.


Ketiga, menurutnya, F-PKS memandang RUU Cipta Kerja tidak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam diagnosis, dan tidak pas dalam menyusun 'resep' meskipun yang sering disebut adalah soal investasi.

Ledia menilai bahwa pada kenyataannya persoalan yang diatur dalam Omnibus Law bukanlah masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi.

Menurutnya, persoalan itu hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha.

"Hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha tanpa melihat rata-rata lama masa kerja pekerja yang di PHK sehingga nilai maksimal pesangon itu semestinya tidak menjadi momok bagi pengusaha," ujar Ledia.

Keempat, lanjutnya secara substansi sejumlah ketentuan dalam RUU itu masih memuat hal-hal yang bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang disepakati bersama pascaamandemen konstitusi.

Menurutnya, ketentuan-ketentuan yang ditolak dalam RUU Cipta Kerja merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara melalui pemberian kemudahan kepada pihak asing.

 

"Termasuk juga ancaman terhadap kedaulatan pangan kita, RUU Cipta Kerja memuat substansi pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap tenaga kerja atau buruh melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha. Terutama pada pengaturan tentang kontrak kerja, upah, dan pesangon," ucap Ledia.

Selain itu, dirinya menilai bahwa RUU Cipta Kerja memuat pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian hidup misalnya dalam pasal 37 RUU Cipta Kerja terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) dihapus.

 

RUU itu, sambungnya, memberikan kewenangan yang sangat besar bagi pemerintah dengan tidak seimbang, karena menciptakan sistem pengawasan dan pengendalian terhadap penegakan hukum administratif.

Baca Juga: Beredar Kabar Terjadi Gempa Berkekuatan 8 SR Akibat Letusan Gunung Krakatau, BMKG Angkat Bicara

"Soyogianya apabila pemerintah bermaksud untuk mempermudah sistem pengenanaan sanksinya harus lebih ketat dengan mengembangkan sistem peradilan yang modern," tutur Ledia.***

 

 

Editor: Iing Irwansyah

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler