BERHAJI TANPA KE MEKKAH

- 2 Juni 2020, 22:54 WIB
IMG-20200602-WA0012
IMG-20200602-WA0012

KEPASTIAN calon jemaah haji yang telah melunasi BPIH tahun 1441 H/2020 M terjawab sudah. Pemerintah memutuskan tidak memberangkatkan jemaah haji 2020 ke Arab Saudi di tengah pandemi virus corona (covid-19). Ibadah haji 2020 ditiadakan karena pandemi covid 19 belum berakhir.

“Berdasarkan kenyataan itu pemerintah memutuskan tak memberangkatkan haji pada 1441 hijriah,” Kata Menteri Agama Fachrul Razi di Kementerian Agama, Selasa (2/6 sebagaimana dikutip CNN Indonesia).

Siapa pun tentu memaklumi kondisi bangsa indonesia saat ini wabil khusus para umat muslim calon jemaah haji yang telah melalui beberapa tahapan pengurusan dokumen sampai dengan pelunasan. Kita tak bisa membayangkan bagaimana kesedihan dan keprihatinan mereka menunggu dari tahun ketahun dalam waiting list yang panjang untuk sampai masuk nominatif dalam tahun keberangkatan.

Pemerintah tentu tidak bermaksud mengecewakan niat baik dan pengorbanan para calon jemaah yang meskipun di tengah kelesuan ekonomi mampu menyisihkan penghasilan untuk memenuhi panggilan ilahi untuk napak tilas Nabi Ibrahim dan Ismail as.
Dalam kajian hukum islam, berlakunya atau tidaknya suatu kewajiban terkait dengan hukum wadie yang merupakan pengikat keberlakuan hukum taklifi. Wajibnya haji bagi yang istithaah berlaku pada masa normal. Ada tiga keadaan yang membuat suatu kewajiban berlaku. Pertama, normal; Kedua, Darurat; Ketiga Penghapusan kewajiban.
Perintah wajibnya haji bagi yang mampu baik secara material, fisik maupun yang lainnya sebagaimana termaktub dalam Ali Imran ayat 97 itu dalam keadaan normal tanpa pandemi. Dalam keadaan pandemi kewajiban itu mendapat rukhshah.

Rukhsah untuk ditangguhkan pada musim 1442 H mendatang. Semoga saja musibah covid -19 segera tuntas tahun ini sehingga tahun depan tak menjadi penghalang untuk penyelenggaraan ibadah haji.
Dalam UU no 8 tahun 2018 poin b, negara menjamin memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan bagi warga negara yang menunaikan ibadah haji dan umrah secara aman, nyaman, tertib dan sesuai dengan ketentuan syariat.

Dalam konteks untuk memberi perlindungan pada Jemaah Menteri Agama mengeluarkan Keputusan (KMA) nomor 494 Tahun 2020, tentang Pembatalan Pemberangkatan Jemaah haji pada Penyelenggaraan Ibadah haji tahun 1441/2020 M yang ditetapkan di Jakarta, 2 Juni 2020.

Respons atas KMA tersebut beragam, ada yang pro dan kontra. PP Muhammadiyah yang diwakili oleh Abdul Mutie menganggap keputusan tersebut tepat karena secara syariah keputusan tersebut tidak melanggar karena di antara syarat haji selain mampu secara ekonomi, kesehatan, mental, dan agama, juga aman selama perjalanan. Sindonews, 2/6.

Sementara dari Pihak KBIH daerah ada yang mengusulkan agar menunggu keputusan Kerajaan Saudi Arabia. Dalam konteks ini kita patut berfikir positif akan keputusan pemerintah didasarkan atas kemaslahatan yang umum. Kita tentu tak ingin jika nama baik bangsa kita tercemar karena misalnya ada jemaah yang menularkan virus corona di tanah suci. Sebaliknya, tatkala mereka pulang, tak ada yang menjamin dari hasil interaksi internasional di tanah suci secara sains tak menularkan virus. Menurut Firman Nugraha, izin Allah itu ada dua, pertama ijin biasa, kedua ijin luar biasa.

Pada ijin yang pertama hukum sebab akibat berlaku sebagaimana terjadi pada acara kumpulan keagamaan jemaah Tabligh di Malaysia yang menyebar ke beberapa negara. Sedangkan pada ijin yang kedua hukum sebab akibat tak berlaku, seperti api yang tak membakar Nabi Ibrahim. Biasanya ijin yang kedua ini berlaku pada para nabi dan para wali yang mempunyai mukjizat dan karamah.
Kerajaan Arab Saudi pun sampai tulisan ini dibuat, baru membuka Kota Madinah.

Sementara Masjidil Haram sudah digunakan untuk peribadatan terbatas keluarga kerajaan dan para karyawan disana.

Secara fiqih beribadah di masa pandemi mempertimbangkan mana yang lebih besar maslahat dan mafsadatnya. Kita tak bisa membayangkan seandainya jemaah Indonesia memaksakan diri untuk diberangkatkan sementara di negeri sendiri belum semua daerah berstatus zona hijau dalam pengertian bebas covid-19.

Vaksin covid-19 pun sampai saat ini belum ditemukan. Jika pun di negara maju telah ditemukan belum diproduksi secara massif. Karena masing-masing negara pun masih membutuhkannya untuk pengobatan dalam negeri. Atas dasar ini keputusan mencegah mudarat didahulukan dari meraih maslahat.
Syariat sendiri salah satu asasnya adalah tanpa kesempitan. Karena pintu-pintu menuju surga tak satu. Bahkan banyak jalan menuju surga. Ada sebuah kisah dari Abdullah bin Mubarak, seorang sufi terkenal yang pada saat perjalanan menuju ke baitullah bersama rombongan, menemukan bangkai burung yang tergeletak di jalanan yang mereka lewati. Sebagai seorang, yang cinta kebersihan, ia segera memungutnya dan memindahkannya ke tempat sampah.

Beberapa menit, berselang ada anak yatim yang memungut bangkai burung itu. Ia segera menghampiri anak tersebut.

Ternyata bangkai burung itu dimasak oleh anak itu untuk dimakan bersama keluarganya yang berhari-hari merasakan kelaparan. Sadar dan merasa prihatin apa yang terjadi, Abdullah bin Mubarak menanyai bekal anak buahnya. Ia menjawab seribu Dinar. Ia hanya mengambil 20 Dinar sementara 980 Dinar ia berikan kepada orang miskin tersebut. Ia berpandangan perbuatan tersebut lebih utama dari haji tahun tersebut. Mereka pun kembali dan tidak berhaji.

Kisah “berhaji” tanpa ke Mekkah tersebut mirip dengan cerita tukang sol sepatu yang bernama Muaffak, yang mengumpukan uang bertahun-tahun pas mau berangkat, ia bertemu dengan orang melarat yang hampir sekarat sehingga bekal ia miliki, diberikan.

Konon kedua aktor yang diceritakan Abdullah bin Mubarak tersebut, bermimpi bahwa kedua mendapat status mabrur meskipun tak jadi pergi Ke baitullah. Dalam sebuah hadis diceritakan pada Hari Kiamat nanti, Allah akan “sakit, haus dan lapar.” Karena hamba-hamba-Nya tak menjenguk, memberi makan dan minum.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِن الله عز وَجل يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي قَالَ: يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ؟ قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلَانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ؟ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ؟ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي قَالَ: يَا رَبِّ كَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ؟ قَالَ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ؟ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي؟ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي قَالَ: يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ؟ قَالَ: اسْتَسْقَاكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أما إِنَّك لَو سقيته لوجدت ذَلِك عِنْدِي ". رَوَاهُ مُسلم

Allah azza wa jalla berfirman pada Hari Kiamat, hai anak Adam, aku sakit, tapi kau tak menjengkku. Anak Adam menjawab, bagaimana aku bisa menjenguk-Mu bukankah engkau Tuhan semesta alam?
Kata Allah,” apa kau tidak tahu salah satu hambaku si Fulan menderita sakit, tapi kau tak menjenguknya. Seandainya kau menjenguknya niscaya kau menemukan-Ku di sisinya.

Hai anak Adam aku memintamu makan pada mu tapi kau tak memberiku makanan?
Anak Adam menjawab, bagaimana aku bisa memberi-Mu makan bukankah engkau Tuhan semesta alam?

Kata Allah,” apa kau tidak tahu salah satu hambaku si Fulan memintamu makan, tapi kau tak memberinya makan. Seandainya kau memberinya makan niscaya kau menemukan-Ku di sisinya.

Hai anak Adam aku memintamu minum pada mu tapi kau tak memberiku minuman?
Anak Adam menjawab, bagaimana aku bisa memberi-Mu minum bukankah engkau Tuhan semesta alam?
Kata Allah,” apa kau tidak tahu salah satu hambaku si Fulan memintamu minum, tapi kau tak memberinya minum. Seandainya kau memberinya minum niscaya kau menemukan-Ku di sisinya. (HR Muslim dari Abu Hurairah)

Cara pandang kesufian seperti Abdullah bin Mubarak tak hanya sesuai dengan dunia tasawuf yang menekankan ridha atas putusan dan ketetapan Allah, tapi selaras juga dengan kaidah fiqih. Hak Allah apabila bertabrakan dengan hak hamba/manusia. Hak manusia didahulukan karena memerlukannya. Tujuan syariat sendiri secara umum kembali kepada kemaslahatan manusia baik untuk memelihara agama, jiwa, harta, keturunan (maqashid) syariah). Wa Allahu A'lam.

 

Editor: Aksara Jabar


Artikel Pilihan

Terkini

Arogansi dan Barbarianisme Politik

7 Oktober 2020, 15:01 WIB

42 Tahun FKPPI

14 September 2020, 14:05 WIB

Dilema Pembalajaran di Masa Pandemi

7 September 2020, 13:14 WIB

Begini Cara GPII Membumikan Pancasila

11 Agustus 2020, 16:39 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah

x