LDR with Qur’an?

- 14 Mei 2020, 13:30 WIB
Ust Ibnu Supomo
Ust Ibnu Supomo

TERNYATA apa yang dihebohkan dan diributkan itu tak terjadi. Jum’at 15 Ramadhan 1441. Karena memang prediksi yang menghebohkan itu bersumber dari hadis palsu. Istilah hadis palsu rancu karena pada hakikatnya bukan hadis. Seperti uang palsu bukan uang hanya mirip dari segi lahir.

Era medos dan era pos truth orang lebih percaya pada narasi daripada fakta. Membaca narasi kadang lebih mudah dan instan dari pada membaca hasil penelitian yang panjang, membuat dahi berkerut.

Secara psikologis orang memang mudah bereaksi atau merepon sesuatu yang bersifat mengagetkan dan aneh karena masuk arena otak reptilia. Seekor binatang (maaf) anjxng misalnya ketika dilempar sesuatu ke arahnya, mudah bereaksi padahal ia tak tahu apa yang dilempar itu makanan atau racun.

Adalah neocorteks, sebuah bagian otak lain dari manusia yang menjadikannya berbeda dengan hewan. Neocoteks ini biasa memproses dan mengolah informasi yang masuk, memeriksa dan meneliti kebenarannya. Dalam al-Qur’an secara implisit kita diperintahkan untuk menggunakan neokortek ini. (Q.S. 49:6)

Kabar buruk atau kabar baik jika palsu mempunyai dampak tersendiri. Dalam pelajaran murthalaah di pesantren dulu ada cerita tentang serigala dan pengembala. Suatu hari sang pengembala karena merasa bete, berniat iseng, untuk ngerjain penduduk kampung. Ia tiap hari mengembalakan kambing-kambingnya di bukit hijau yang tak jauh dari kampung. Bukit itu dikelilingi sawah-sawah dan perkebunan yang berada di bawahnya.

Di suatu sore sang pengembala, berteriak, ia pura-pura didatangi srigala yang memangsa domba-dombanya,”Tolong….! tolong…..ada srigala…ada srigala….” Ia berteriak berkali-kali . Para penduduk yang sedang menyabit rumput, mengolah sawah dan berkebun terperanjat. Begitu juga penduduk kampung sebelah. Mereka dengan cepat membawa peralatan yang mereka punya. Kayu, golok, parang. Bambu dan sebagainya. Pas tiba di lokasi. Mereka bertanya pada sang pengembala,”mana serigalanya mana?’’

Sang bocah angon ternyata sedang duduk santai di atas sebuah dahan pohon sambil tertawa terbahak-bahak. Domba-dombanya pun tak ada satu pun yang cedera atau dimangsa derigala. Ia merasa berhasil ngerjain penduduk kampung, sambil tertawa terpingkal-pingkal,” Kena deh…..” Kacian De Lo kena tipu!”

Para penduduk kampung naik pitam, mereka merasa kesal dikerjai remaja tanggung padahal mereka telah mengorbankan waktu dan tenaga serta meninggalkan pekerjaan mereka demi menyelamatkan bocah angon dan kambing-kambingnya. Mereka pun pun pulang dan kembali ke garapannya masing-masing.

Pada hari berikutnya, sang pengembala ingin mengulang “success story” pada hari sebelumnya. Ia mengulang drama yang terjadi pada hari kemarin, dan berhasil mengelabui penduduk kampung untuk kedua kalinya. Para warga kembali menjadi korban hoax dari bocah angon tersebut.

Pada hari ketiga, bocah angon tak berniat untuk membuat hattrick mengelabui warga, karena serigala kini datang beneran. Ia spontan berteriak sebagaimana hari pertama. Ia panik tatkala kumpulan serigala hutan yang memangsa domba-dombanya. Ia berusaha membela diri dan meminta tolong warga dengan berteriak sekencang kencangnya. Sayang seribu sayang, warga sudah tak ada yang percaya pada omongannya. Padahal pada hari ketiga kejadiannya benar-benar terjadi. Ia pun tak berdaya dan meninggal di terkam serigala yang asalnya hanya rekaman dari imajinasi liarnya.

Jika terhadap sesuatu yang belum pasti kebenarannya mudah merespons dan bereaksi, sebaliknya terhadap yang pasti kebenarannya kadang kita alpa. Ada sebuah cerita di grup WA yang memuat kisah sepasang suami isteri mengundang ustadz untuk makan di rumahnya. Secara kebetulan di meja makan, tempat dihidangkan jenis makanan dan minuman ada uang mereka sejumlah lima juta rupiah. Selesai makan sang ustadz berpamitan pulang. Namun suami-isteri merasa heran tatkala kembali ke meja makan yang tadi. Uang mereka yang tergeletak disana tak ada.

Sejak saat itu mereka memboiokot pengajian sang ustadz, ia tak mau jadi jemaah ustaz yang mencuri uang jemaahnya. Sampai suatu saat, secara tak sengaja mereka berpapasan di jalan. Mereka pun setelah berbasa basi mengemukakan alasan mereka mengapa tidak ikut pengajian lagi. Diantaranya drama setelah makan bersama tersebut. Mereka pun akhirnya mengkonfirmasi dugaan yang selama ini mereka yakini. Tentang uang lima juta rupiah. Sang ustad ternyata menyelipkan uang itu di mushaf Qur’an yang tersimpan di Rak buku rumah pasangan suami isteri tersebut. Setelah klarifikasi itu mereka bersegera pulang dan mengecek mushaf yang merekapunya. Benar saja dalam mushaf itu terselip uang lima juta rupiah. Lebih dari sebulan memang mereka tat membaca al-Qur’an sehingga pasih tersimpan di posisi semula.

Apa moral behind story dari cerita kedua ini. Kita lebih suka mengebohkan yang belum pasti kebenarannya dan tidak suka mendalami, menggunakan sesuatu yang sudah pasti kebenarannya yaitu al-Qur’an. Kita lebih suka menggunakan reptilia, kapan akan terjadi tanda-tanda kiamat yang dahsyat secara fisik. Tapi lupa mempersiapkannya. Jangankan kita mempersiapkannya. Kita malah mendiamkan al-Quran.Tak pernah membuka, membaca dan mengkajinya. Padahal al-Qur’an pelita kehidupan. Petunjuk hukum dan Hikmah.

 

وَإِنَّ القُرْآنَ ظَاهِرُهُ أَنِيقٌ، وَبَاطِنُهُ عَمِيقٌ. لاَ تَفْنَى عَجَائِبُهُ، وَلاَ تَنْقَضِي غَرَائِبُهُ، وَلاَ تُكْشَفُ الظُّلُمَاتُ إِلاَّ بِه

Al-Qur’an itu bentuk lahirnya indah maknanya mendalam. Keajaiban-keajaibannya tak terhenti. Pesona-pesonanya tak pernah sirna. Kegelapan tak tersingkap kecuali melalui petunjuknya. (Ali bin Abi Thalib)

Kedalaman makna al-Qur’an yang menggugah diceritakan oleh Ibnu Mas’ud yang membacakan surat an-Nisa kepada nabi Muhammad Saw:

 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ عَلَيَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ نَعَمْ فَقَرَأْتُ سُورَةَ النِّسَاءِ حَتَّى أَتَيْتُ إِلَى هَذِهِ الْآيَةِ – فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا – قَالَ حَسْبُكَ الْآنَ فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ  =متفق عليه=

Dari Abdullah bin Mas’ud ra, berkata, “Berkata Nabi kepadaku, “Bacakanlah padaku.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku bacakan kepadamu sedangkan kepadamu telah diturunkan?” beliau menjawab, “ya”. Maka aku membaca surat An Nisa hingga ayat “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS An Nisa 4: 41) beliau berkata, “cukup”. Lalu aku (Ibnu Masud) menengok kepadanya ternyata kedua mata beliau berkaca-kaca.” (HR. Muttafaqun Alaih).

 

– عبد الله بْنِ الشِّخِّيرِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

 

أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ وَهُوَ يُصَلِّي وَلِجَوْفِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الْمِرْجَلِ مِنَ الْبُكَاءِ

 

Abdullah bin al-Syikhir menyampaikan kesaksian ayahnya mengenai tangisan laki-laki yang menjadi panutan itu. Ia pernah berkunjung ke rumah ayah Fatimah tersebut dan mendapatinya sedang shalat. “Dari dadanya saya mendengar suara bergolak bak air yang sedang mendidih karena tangis (Mukhtar al-Syamail)

 

Begitulah keadaan nabi ketika membaca, menyimak al-Qur’an. Beliau tentu memahami kedalaman kandungannya, memahami maksud dan sasarannya. Hal serupa juga dilakukan sahabat nabi yang mudah terpengaruh oleh bacaan al-Quran. Kulit mereka melembut. Hati mereka khusyu. Kedua mata mereka berair. Berharap dengan rendah hati agar amalan mereka diterima dan dosa diampuni.

 

Lalu bagaimana dengan kita? Kita mungkin yang termasuk meninggalkan/mendiamkan al-Qur’an seperti dalam cerita kedua di atas. Menurut Ibnu Qayyim sebagaimana dikutip dalam al-Mukhtar Fi Syahri Ramadhan menjelaskan beberapa jenis pendiaman atas al-Qur’an. Salah satunya adalah meninggalkan keimanan padanya. Dan enggan menyimah mendengarkannya.  Kedua meninggalkan pengamalan padahal kita tahu dan beriman tentang hukum halal dan haram yang dijelaskannya. Ketiga meninggalkan hukum dan hikmahnya baik dalam teologi (Ushuluddin) maupun Furu’uddin karena menganggapnya sebagai teks yang tak bermakna. Keempat meninggalkan tadabur dan tafahum nilai-nilai luhur yang dikandungnya. Kelima meninggalkankannya dalam terapi dan pengobatan penyakit-penyakit hati.

 

Adapun mengenai keutamaan membaca al-Qur’an, maka statusnya lebih utama dari jenis dzikir apa pun. Imam al-Nawawi menyatakan bahwa pendapat yang benar dan terpilih dari ulama, membaca al-Qur’an lebih utama dari membaca tasbih, tahlil, dan dzikir-dzikir lain. Dalil-dalil yang membenarkan hal itu begitu jelas. Wa Allahu A’lamu

Editor: Aksara Jabar


Artikel Pilihan

Terkini

Arogansi dan Barbarianisme Politik

7 Oktober 2020, 15:01 WIB

42 Tahun FKPPI

14 September 2020, 14:05 WIB

Dilema Pembalajaran di Masa Pandemi

7 September 2020, 13:14 WIB

Begini Cara GPII Membumikan Pancasila

11 Agustus 2020, 16:39 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah

x