Peran dan Masa Depan Aktivis Indonesia saat Pandemi Covid-19

- 10 Mei 2020, 13:22 WIB
f9478515-1642-400b-b1d2-21a9e7a05257
f9478515-1642-400b-b1d2-21a9e7a05257

SAHABAT saya bilang, "berat labeling aktivis itu", sahabat saya yang lain bilang, "benar kata rindu, dilan itu berat". (Saya akan tag sahabat saya jika perlu dikoreksi).

Dari quotes kedua sahabat saya tersebut mungkin pembaca dapat mengklasifikasikan sendiri yang mana korban Pidi Baiq yang mana korban Hariman Siregar.

Lebih jauh kita membahas aktivis, yang akrab ditelinga kata "aktivis" menyiratkan banyak sekali potret kehidupan Mahasiswa, dengan berbagai kemewahan yang dimilikinya sebagai "Maha"-"Siswa". Namun benar kata Tan Malaka, "Kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda adalah idealisme nya".

Jadi sekalipun menyandang status Mahasiswa tapi jika seseorang tak memiliki idealisme atau prinsip yang kuat untuk mewujudkan hal yang benar utamanya untuk kepentingan orang banyak, maka ia tak bernilai apa-apa.

Saat ikut Senat Mahasiswa, seorang kawan menyampaikan pada saya dalam sebuah obrolan sederhana, "aktivis itu harus aktif dalam segala hal, pun mengenai pacar".

Itu segelintir definisi dari sahabat saya di Fakultas yang kala itu cukup sering memimpin Fakultasnya dalam demonstrasi di Kampus, namun pencarian seputar makna aktivis tak berhenti disitu. Saat saya masih tingkat 2 dengan berbekal sedikit sekali pengalaman berorganisasi dari SMP dan SMA, ada semacam keinginan kuat sekali, untuk mengenal dunia Kemahasiswaan. Terkadang saya mengartikan "Aktivis", “mereka yang sering sekali memegang toa/pengeras suara dalam forum-forum bebas dijalanan. Pekik mereka sangat tebal, cukup untuk menggetarkan 1 gedung mewah berisi banyak anggota Dewan yang sedang rapat (entah apa yang dibahas)”. Namun saya masih merasa belum menemukan makna aktivis yang benar dari sekadar memegang toa dijalanan mungkin karena ketika itu hanya memiliki sedikit sekali perspektif akan aktivis itu sendiri.

Akhirnya saya memilih untuk bergabung dengan Organisasi Ekstra Universiter agar dapat meluaskan sudut pandang dan wawasan saya juga relasi seraya menemukan jawaban atas pola kehidupan Mahasiswa yang dicap sebagai dunia nya para Aktivis. Saya menemukan pandangan baru di organisasi yang saya ikuti, bahwa kerangka pikir aktivis itu cenderung kritis karena bersumber dari berbagai buku yang dibaca maupun di diskusikan untuk kemudian digunakan sebagai pisau analisis dalam mengupas keborokan perilaku pemangku kebijakan yang dzolim. Upaya mengorek keburukuan rezim dengan tujuan membela kebenaran alias kesejahteraan rakyat sering Mahasiswa definisikan sebagai Kritik.

Apa manfaatnya kritik?

Sahabat saya bertanya, "mengapa sih kamu selalu urusi urusan pemerintah? urusi urusanmu aja kali!" Saya mulai dengan "kritik itu gratis" (ini akan mewakili pandangan kaum pragmatis). Lalu kritik itu bukan berarti membenci, jika memang kritik adalah bentuk kebencian maka biarkan saja suatu rezim hancur tanpa saran/masukan dan tak usah kita repot-repot mengkritik. Selanjutnya kritik itu tak dilarang, bahkan menyampaikan aspirasi adalah amanat Undang-Undang Dasar 1945,  yang cahayanya harus dijaga tetap terang jika kita masih mau negara ini disebut demokratis.  Urusan pemerintah memang urusan mereka, tapi kita memiliki tanggung jawab moril agar saling mengingatkan dalam hal yang benar, terlebih menjaga nalar kita agar tak semakin impoten akan kebenaran.

Sebetulnya aktivis adalah mereka yang mengabdikan diri sepenuhnya untuk kemaslahatan umat dan bangsa dengan senantiasa menjaga nalarnya agar tetap sehat sebelum menuangkannya dalam bentuk kritik, baik secara langsung ataupun tidak (dijalan ataupun melalui tulisan). Tujuan aktivis jelas, yaitu untuk tercapainya kebenaran dan kejujuran yang ditandai dengan kesejahteraan masyarakat dari berbagai sendi kehidupan khususnya sektor ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Jika kita menyadari, ekonomi kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan paling dasar dimana pemerintah harus bertanggung jawab akan terjaminnya kebutuhan masyarakat dalam 3 hal tersebut sesuai amanat UUD 1945. Meski pemerintah kita hari ini sibuk memperkaya diri sendiri dan mengkhianati Pasal 33 ayat 1-5 UUD 1945 ditandai dengan gedung-gedung, perumahan, dan kendaraan mewah mereka.

Masa Depan Aktivis?

Banyak dari kita menilai aktivis pada akhirnya akan menceburkan dirinya juga di kolam politik yang kotor dengan bermandikan kemewahan, dan tak sedikit yang melupakan idealismenya di masa dia Mahasiswa. Jika membaca tulisan-tulisan Soe Hok Gie, yang terangkum dalam Buku berjudul Catatan seorang Demonstran akan ditemukan keresahan Gie tentang mantan aktivis yang kemudian menjadi pencoleng-pencoleng politik, agen opsus alias staf khusus politisi atau tenaga kerja politisi, makelar pintu kecil, atau paling tidak politikus kelas 3.

Ini jelas menurunkan harkat martabat aktivis yang secara tidak langsung menempatkan dirinya dibawah politisi yang selama ini dia caci maki dijalanan ketika ia masih Mahasiswa. Padahal jika idealismenya tergerus ketika masuk lingkaran politik maka Tuhan akan menilai usahanya selama ini sia-sia. Saya bermaksud mengatakan, tak salah ikut berpolitik asalkan berani melawan arus keburukan yang sangat sering menghantam dan menyelimuti daratan para politisi. Saya akan ambil contoh baik dari anaknya bapa Amin Rais yang keluar dari keanggotaannya di Dewan dan partainya PAN karena merasa idealismenya terus dikotori intrik-intrik kepentingan, maksud saya adalah dia berani mengambil langkah keluar saat “hal baik” dirasa tak mampu lagi dilakukan dilingkaran tersebut. Tapi lebih baik lagi adalah seseorang yang tetap menjaga idealismenya dalam dunia kotor dan memperbaikinya dari dalam.

Tak sedikit juga yang menilai bahwa aktivis harus hidup sejahtera pula ditandai dengan perekonomiannya yang melimpah, maka ketika ada mantan aktivis yang memilih "jalur berbeda" diluar politik ia akan dianggap sebagai contoh yang tak sejahtera. Sungguh mental berpikir yang sangat miskin, Ahmad Wahib menyebutnya dengan kebekuan pikir masyarakat Indonesia karena tak mampu meningkatkan kualitas dirinya pun pengetahuan dan pengalamannya. Tulisan ini mungkin akan sedikit mendekonstruksi pemikiran aktivis maupun mantan aktivis yang senantiasa ingin terlihat sebagai "bos" atau bahasa 2020 ini "don" yang mewah seperti para politisi, meski pandangan tersebut tak sepenuhnya salah selama prinsip hidup mengutamakan kesejahteraan hidup orang banyak, tetap ia pegang sepenuhnya.

Ditengah pandemi Covid-19 ini ada sedikit yang ingin saya sampaikan mengenai peran aktivis yang dapat dilakukan ketika kita sudah mampu keluar dari makna "aktivis adalah yang memegang toa dijalanan dan hidup seperti Don". Jika aktivis yang dikenal kuat dengan kritik melalui orasinya dimaknai sebagai penuangan gagasan dan kersahan terhadap suatu legitimasi kebijakan yang dzolim agar masyarakat dapat sejahtera, maka penuangan gagasan tersebut dapat kita tuangkan dalam berbagai media lain seperti membuat tulisan, video, bahkan membuat institute-institutan alias badan konsultan (haha) agar ide/gagasan dan keresahan dapat tersampaikan meski banyak sekali hambatan ditengah pandemi ini. Banyak persoalan yang tak pernah selesai oleh pemangku kebijakan belakangan ini, seperti penanganan menyikapi pandemi covid-19 yang tumpang tindih dari pusat ke daerah, RUU Cilaka Omnibus Law yang terus digas pemerintah, “proyek” kartu Pra-Kerja, Stafsus milenial yang kontribusinya sangat terasa bagi negeri ini, keresahan rakyat dan pakar mengenai pengambilan kebijakan harga BBM tak turun meski harga minyak dunia menurun dan disinyalir akan melonjak naik kedepan, maju mundur kebijakan mudik dan pulang kampong, 500 TKA Cina yang masuk Indonesia disaat Corona, dan masih banyak lagi.

Ayo kawan-kawanku yang merasa sudah menjadi aktivis, mari bantu pemerintah dengan sumbangsih pemikiran kalian melalui kritik dengan berdasar kepada kebenaran yang mengutamakan keselamatan rakyat agar dapat juga hadir kebijakan yang mengutamakan keselamatan rakyat (Salus Populi Suprema Lex). Lalu peran paling konkret dikala pandemi covid-19 adalah dengan tetap berkontribusi secara langsung lebih terkhusus dalam mentaati PSBB, cuci tangan dan cuci muka jangan lupa, lebih khusus dalam penyaluran berbagai bantuan pada masyarakat yang membutuhkan atau menjadi relawan penanganan virus corona ini. Saya juga mengajak kepada seluruh pembaca, agar tak lupa berdo’a semoga penyakit yang penyebarannya lebih mengerikan dari wabah dan epidemi dalam hal ini pandemic Covid-19 agar segera selesai, baik secara alami atau dengan proses vaksinasi yang masih kita upayakan keberadaannya agar kita dapat beraktivitas normal seperti sebelumnya.

Editor: Aksara Jabar


Artikel Pilihan

Terkini

Arogansi dan Barbarianisme Politik

7 Oktober 2020, 15:01 WIB

42 Tahun FKPPI

14 September 2020, 14:05 WIB

Dilema Pembalajaran di Masa Pandemi

7 September 2020, 13:14 WIB

Begini Cara GPII Membumikan Pancasila

11 Agustus 2020, 16:39 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah

x