MUNGKINKAH ABSENTEE VOTING DAN EARLY VOTING DAPAT DITERAPKAN?

- 30 April 2020, 19:52 WIB
IMG_20200430_195517
IMG_20200430_195517

MENGKAITKAN wacana absentee voting (pemberian suara absen) dan early voting (pemberian suara awal) dengan dua isu elektoral yang sedang berkembang di Indonesia merupakan hal yang menarik untuk didiskusikan lebih dalam.

Kedua isu tersebut yaitu pertama, rencana terbitnya Perppu Pemilihan Serentak sebagai tindak lanjut dari persetujuan Komisi II DPR RI atas usulan Pemerintah (dalam hal ini Kemendagri) pada tanggal 14 April 2020 dalam Rapat Kerja di DPR RI.

Usulan yang disetujui tersebut yaitu Pemilihan Serentak ditunda selama 3 bulan. Jadi, perubahan jadwal pemungutan suara yang semula diagendakan pada tanggal 23 September 2020 menjadi tanggal 9 Desember 2020.

Tentunya persetujuan tersebut dilengkapi persyaratan khusus dimana masa tanggap darurat pandemi Covid-19 telah berakhir sekaligus memperhatikan kesiapan penyelenggaraan tahapan Pemilihan Serentak tersebut.

Dan kedua, materi naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu pasca Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019. RUU tersebut memuat rencana pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal. Hal ini termaktub dalam Pasal 4 & 5 dalam RUU tersebut. Jadi saat ini adalah masa deliberasi politik dimana warga negara dapat memberikan masukan atau usulan strategisnya atas materi RUU tersebut.
Kedua isu elektoral tersebut menstimulasi untuk kita semua mendiskusikan tentang bagaimana pemilih dapat memberikan suaranya tanpa harus datang ke TPS atau lebih awal waktunya dalam memberikan suaranya daripada hari pemungutan suara terjadwal.

Hal tersebut merupakan bagian penting dari Desain Penyelenggaraan Pemilu/DPP (Electoral Management Design) yang baik dengan mengacu pada prinsip-prinsip integritas elektoral khususnya semua pemilih memiliki kesempatan yang sama.

Mengenal Absentee Voting dan Early Voting
Absentee voting (atau absent voting) dan early voting sangat membantu bagi pemilih yang berada di negara dengan sistem pemilu yang mewajibkan memilih (voting is obligatory) seperti Mesir, Australia, Belgia, Bolivia, Chili, Austria dan lain sebagainya, karena bagi pemilih di negara tersebut yang tidak dapat memberikan suaranya akan dikenakan sanksi tertentu mulai denda uang, eksklusi akses pelayanan publik, sampai dengan penjara.

Di negara yang menerapkan kebijakan memilih sebagai hak (voting is rights), absentee voting dan early voting dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan partisipasi elektoral pemilih dalam memberikan suaranya. Hal ini baik untuk Pemilihan Serentak yang biasanya tingkat partisipasi pemilih pengguna hak pilih selalu lebih rendah daripada pemilu legislatif ataupun pemilu presiden, apalagi kini di masa pendemi Covid-19.

Dengan demikian absentee voting dan early voting memiliki nilai strategis bagi pengembangan partisipasi warga (civic engagement) dalam demokrasi elektoral, karena pemilih memiliki kebebasan dan kesempatan lebih lama dalam memberikan suaranya.

Jadi sebenarnya apa yang dimaksud dengan absentee voting? Helena Catt et al (2014:396) mendefinisikan absentee voting is a mechanism voters can use to cast a vote without going to a polling station on the day(s) fixed for voting (pemberian suara absen adalah sebuah mekanisme yang pemilih dapat gunakan untuk memberikan suara tanpa pergi ke tempat pemungutan suara pada hari yang ditetapkan untuk memilih). Absentee voting tidak hanya dilaksanakan pada hari pemungutan suara yang telah dijadwalkan (the scheduled election day), tetapi juga pada early voting (atau disebut dengan istilah lain yaitu in-person early voting).

Misalnya dalam Pemilu Parlemen Korea Selatan yang telah diselanggarakan di masa pandemi Covid-19, NEC (National Election Commission) mengagendakan early voting pada tanggal 10 & 11 April 2020 di 3.500 TPS di seluruh Korea Selatan dengan tujuan mengurangi jumlah pemilih yang datang ke TPS di hari pemungutan suara 15 April 2020. Pada hari terakhir early voting tersebut, NEC mengumumkan ada sekitar 12 juta pemilih (26,7%) pemilih yang telah memberikan suaranya.

Early voting juga dapat dilaksanakan di luar negeri. Ini yang disebut dengan istilah out-of-country voting. Dalam buku Voting from Aboard, Andrea Ellis et al (2007:8) menyebut istilah lain dari out-of-country voting yaitu dengan istilah external voting yang berarti prosedur dimana beberapa atau semua pemilih dari suatu negara baik yang bersifat permanen atau temporer (sementara) yang berada di luar negeri dapat menggunakan hak pilihnya dari luar wilayah nasional atau di luar negara asalnya.

Dalam regulasi pemilu Indonesia, out-of-country voting dikenal dengan istilah pemungutan suara luar negeri. Pemungutan suara tersebut khusus bagi Pemilu Anggota DPR RI dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden saja, tidak termasuk pemilu untuk kepala daerah dan anggota DPRD serta anggota DPD RI. Hal ini diatur dalam Pasal 357 UU No. 7 Tahun 2017 juncto Pasal 96 Peraturan KPU RI No. 9 Tahun 2019.
Dalam Peraturan KPU RI tersebut, khususnya dalam Pasal 96 ayat 4 & 5, mengatur pertama tentang early voting baik di TPSLN yang diselenggarakan 9 – 3 hari sebelum hari Pemungutan Suara di dalam negeri dan kedua, melalui KSK (Kota Suara Keliling) yang dimulai 9 hari sebelum hari Pemungutan Suara di dalam negeri sampai dengan pelaksanaan Pemugutan Suara di TPSLN pada masing-masing PPLN.

Sejarah dan Ragam Metode Absentee Voting
Sejarah awal absentee voting sebenarnya sudah ada sejak pemilu di akhir Abad ke-18. Di Amerika Serikat, absentee voting diadakan pertama kali pada Pemilu Presiden (Pilpres) tahun 1864 pada masa Perang Saudara (Civil War). Menurut John C. Fortier (2006:7), absentee voting ini dimaksudkan untuk mengakomodasi tentara di lapangan, pekerja kereta api, musafir bisnis (business travelers), wisatawan (vacationers) atau orang lemah (the infirm) seperti lansia (the elderly), orang sakit (the sick), dll.

Pada waktu Pilpres tersebut, para reformis pemilu (election reformers) di Amerika Serikat menganggap absentee voting sebagai kemajuan (an advance), karena pemilih memiliki akses yang lebih mudah (the easier access) dalam memberikan suara. Tapi di sisi lain, reformis tersebut juga menyadari akan adanya kekhawatiran atas kemananan suara (the security of the ballot), ketika pemilih tidak bisa memberikan suara di TPS yang telah ditentukan.

Kini absentee voting dipraktekkan di pemilu di berbagai negara di dunia. Ada beberapa jenis metode pelaksanaan absentee voting yaitu (1) VBM (Voting by Mail) atau mail voting yaitu pemberian suara lewat surat atau dikenal dengan istilah lain yaitu postal voting (pemberian suara lewat pos. Metode ini diberikan kepada pemilih atas permintaan (based on voters’ demand).

Setelah pemilih memberikan suaranya, lembar surat suara tersebut dimasukan ke dalam amplop dan dikirim kepada panitia penyelenggara pemungutan suara. Jenis metode ini dikenal juga sebagai home voting dimana pemilih memberikan suaranya dari rumah.

(2) proxy voting yaitu pemberian suara yang dilakukan oleh seseorang terpercaya yang telah diberi kuasa sebagai pengganti atau wakil pemilih yang tidak bisa hadir di TPS karena alasan tertentu. Kelemahan metode ini yaitu kesulitan dalam memverifikasi kebenaran atau ketepatan pilihan elektoral yang dilakukan oleh wakil pemilih tersebut, apakah sudah sesuai permintaan atau perintah pemilih yang memberikan mandat atau belum. Wakil pemilih tersebut berpotensi melakukan misvoting (salah memilih).
Dan (3) internet voting (i-voting) atau e-voting yaitu pemberian suara melalui internet. Metode pemberian suara ini ini tidak lepas dari masalah yang sangat krusial atau berresiko sangat tinggi (extremely high risk) yaitu potensi serangan siber (cyberattack) yang telah melahirkan cyberphobia.

Pemilu Amerika Serikat tahun 2016 pernah diterpa isu peretasan atas hasil pemilunya yang dilakukan oleh peretas Rusia. Itulah sebabnya pendukung Calon Presiden dari Partai Demokrat Hillary Clinton mencurigai kemenangan Calon Presiden dari Partai Republik Donald Trump, walaupun pada akhirnya tak terbukti.

Oleh karena itu, protokol keamanan siber (cybersecurity) harus dapat memastikan sistem e-voting tersebut benar-benar aman dari resiko serangan siber atau peretasan atas hasil pemilu. Kemananan siber tersebut harus dapat melindungi kerahasiaan pilih pemilih atau mampu menjaga amanat politik pemilih. Keamanan siber tersebut merupakan hal yang paling mendasar dari bangunan kepercayaan publik terhadap hasil pemilu (Pratama & Salabi, 2019:60-61).

Selain ketiga hal tersebut di atas, ada dua jenis metode lain dari absentee voting. Kedua metode tersebut untuk pemilu di tengah pandemi Covid-19 dengan tujuan membatasi kontak antar permilih (person-to-person contact) yaitu pertama, telephone voting yaitu pemberian suara lewat telefon. Misalnya dalam protokol kesehatan atau tindakan perlindungan (protection measures) Covid-19 yang diterbitkan oleh ECQ (The Electoral Commission of Queensland), telephone voting diperuntukkan bagi pemilih yang terpapar Covid-19 dan direkomenasikan oleh ahli atau praktisi medis agar mereka tetap dalam isolasi diri selama masa pemilu.

Dan kedua, drive-through voting yaitu pemberian suara dimana pemilih tetap berada di dalam kendaraan pribadinya. Untuk mengantisipasi penularan Covid-19, NEC merancang pemungutan suara dengan teknik tersebut untuk pemilu parlemen Korea Selatan tahun 2020. Tapi sayangnya tidak bisa dilangsungkan, karena waktu persiapan yang tidak memadai.

Absentee Voting dalam Pemilu Indonesia
Merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 84, 86, 87, 88, 92, 93, 96, dan 97 UU No. 1 Tahun 2015, Pasal 87, 89, 90, 91, 94, dan 95 UU No. 8 Tahun 2015, dan Pasal 85 UU No. 10 Tahun 2016 juncto Pasal 35 & 36 dan 39 – 42 PKPU No. 10 Tahun 2015 dan Pasal 37 PKPU No. 14 Tahun 2016, regulasi Pemilihan/Pilkada Serentak tidak mengatur tentang absentee voting dan mewajibkan pemilih untuk datang ke TPS, termasuk pemilih disabilitas harus datang ke TPS dengan dibantu oleh pendamping.

Dalam situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini, topik absentee voting dalam pemilihan serentak menjadi menarik untuk didiskusikan dalam rangka melindungi pemilih dengan berlandaskan pada prinsip hukum Salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat harus jadi hukum tertinggi).

Terkait hal tersebut, cerita sukses Korea Selatan dalam menyelenggarakan pemilu parlemen dengan didukung oleh absentee voting bisa menjadi insipirasi bagi desain regulasi teknis pemilih ataupun khususnya naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu dimana pemilihan dimasukan dalam Pemilu Lokal.

Selanjutnya untuk Pemilu Serentak 2019 yang lalu khususnya yang dalam negeri, dalam sudut pandang absentee voting, materi regulasi tidak ada perbedaan yang berarti dengan Pemilihan Serentak tersebut di atas. Misalnya dalam Pasal 348, 349, dan Pasal 351 ayat 2 UU No. 7 Tahun 2017 juncto Pasal 38 – 44 Peraturan KPU RI No. 3 Tahun 2019 & Pasal 40 Peraturan KPU RI No. 9 Tahun 2019 menjelaskan bahwa pemilih harus datang ke TPS untuk memberikan suaranya, termasuk pemilih disabilitas.

Dalam Pemilu Serentak 2019 lalu, hanya ada pelayanan KPPS terdekat dengan cara mendatangi pemilih. Mereka adalah pemilih yang sedang menjalani tahanan sementara, rawat inap di rumah sakit atau puskesmas, atau yang merupakan keluarga yang mendatangi. Tentunya mereka harus memiliki formulir Model A.5-KPU. Hal ini diatur dalam Pasal 28 ayat 3 huruf f, Pasal 220, dan Pasal 223 ayat 2 Peraturan KPU RI No. 9 Tahun 2019.

Pemilu Indonesia baru mengadopsi absentee voting hanya untuk pemungutan suara luar negeri untuk memilih Calon Anggota DPR RI dan Calon Presiden beserta Calon Wakil Presiden dengan metode postal voting. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 357 UU No. 7 Tahun 2017 juncto Pasal 96 ayat 3 huruf c & ayat 6 dan Pasal Peraturan KPU RI No. 9 Tahun 2019. Ketentuan postal voting tersebut berlaku bagi pemilih yang tidak dapat memberikan suara di TPSLN yang telah ditentukan. Pemberian suaranya dapat dilakukan sejak diterimanya surat suara melalui pos sampai dengan hari pemungutan suara di luar negeri dan surat suara yang telah dicoblos tersebut harus dikirim kembali kepada KPPSLN Pos.

Mungkinkah Pemilihan Serentak atau Pemilu di Indonesia (dengan UU Pemilu baru) dapat mengadopsi absentee voting? Sebuah pertanyaan yang penting bagi kita semua, khususnya bagi para legal drafter (perumus naskah undang-undang/kebijakan). Tidak sekedar menyelamatkan pemilih di tengah pandemi Covid-19, tetapi hal yang paling substansial adalah melalui penerapan absentee voting, pelayanan pemilih dalam menggunak hak suaranya dalam situasi krisis dapat dipenuhi dengan mudah dan aman sesuai prinsip integritas elektoral yang mencakup prinsip luber, jurdil, dan aman.
Dalam manajemen elektoral yang berorientasi pada pelayanan pemilih (voter service), sebagaimana slogan KPU Melayani, tentunya penyelenggaraan absentee voting berbasis integritas elektoral tersebut sepatutnya dapat dipertimbangkan untuk diterapkan di Pemilihan Serentak atau pemilu selanjutnya, tidak hanya di luar negeri, tetapi juga di dalam negeri. Semoga materi Perppu Pemilihan Serentak sebagai payung hukum yang akan terbit dapat mengatur tentang kemungkinan penerapan teknik absentee voting.

Sebagai pemantik diskusi, dalam artikel ini, penulis mengusulkan metode absentee voting yang dapat diterapkan untuk Pemilihan Serentak atau pemilu di dalam negeri Indonesia yaitu postal voting, e-voting, dan drive-through voting. Sementara untuk metode proxy voting dan telephone voting tidak bisa diaplikasikan karena pertimbangan keterjaminan ketepatan dan kerahasiaan suara pemilih.
Untuk postal voting, PPSLN memiliki pengalaman yang bisa menjadi sumber inspirasi perumusan kebijakan tersebut untuk dipraktekkan di dalam negeri dan untuk pelaksanaan drive-through voting bisa dilakukan dengan mekanisme yang hampir sama dengan postal voting. Kelebihan drive-through voting, pemilih yang bersangkutan sendiri yang menyerahkan secara langsung surat suara ke PPS yang ditunjuk.
Selanjutnya untuk e-voting. Metode absentee voting ini sebenarnya sudah menjadi kajian pihak Pemerintah (Kemendagri) dan Kemendagri sudah menyampaikan kepada publik tentang rencana penerapan e-voting (pemungutan suara elektronik) untuk pemilu mendatang. Sebenarnya dari sisi perkembangan populasi masyarakat jaringan (network society) atau pemilih pengguna internet di Indonesia yang kini sudah mencapai sebanyak 175,4 juta orang (usia 16 – 64 tahun), gagasan e-voting dapat dinilai realistis, khususnya untuk pemilih urban.
Tidak hanya dari sisi populasi pemilih pengguna internet yang cukup tinggi dan kemudahan dalam pemberian suara, penerapan e-voting juga dapat mengefisiensikan pembiayaan pemilu, meringankan beban penyelenggara, dan juga mempercepat proses rekapitulasi suara –hal ini sejalan dengan rencana penggunaan e-rekap (rekapitulasi elektronik) yang telah digagas oleh KPU RI untuk Pemilihan Serentak 2020.
Penerapan absentee voting dan early voting, tidak sekedar pada orientasi pelayanan pemilih dalam menggunakan hak suaranya, tetapi juga memutakhirkan sistem pemilu di Indonesia. Semoga artikel ini menjadi materi pemantik diskusi publik dan inspirasi bagi legal drafter. Dengan penerapan teknik pemberian suara tersebut di dalam negeri, penulis meyakini bahwa sistem pemilu di Indonesia berpotensi menjadi lebih baik.

Editor: Aksara Jabar


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Arogansi dan Barbarianisme Politik

7 Oktober 2020, 15:01 WIB

42 Tahun FKPPI

14 September 2020, 14:05 WIB

Dilema Pembalajaran di Masa Pandemi

7 September 2020, 13:14 WIB

Begini Cara GPII Membumikan Pancasila

11 Agustus 2020, 16:39 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah