Sudahkah Kita Berdaulat Agraria

- 19 September 2019, 22:51 WIB
IMG-20190919-WA0050
IMG-20190919-WA0050

HARI agraria atau yang biasa disebut dengan hari tani yang sebentar lagi akan diperingati tepatnya pada tanggal 24 September adalah sebuah monumen perjuangan petani dan sebuah perjalanan panjang pergolakan pemikiran dalam memperjuangkan hak-haknya atas tanah.

Namun, momentum tersebut bukan hanya sebuah seremonial belaka layaknya ulang tahun anak kecil yang dirayakan oleh orang tuanya. Melainkan, sebuah refleksi yang mendalam atas perjuangan dan keberlangsungan petani dalam pemenuhan hak-haknya atas tanah. Hal ini mengingat bahwa negara kita adalah negara agraris dimana sebagian besar lahan dan mata pencahariannya adalah pertanian. Oleh sebab itu UUPA menjadi sangat penting keberadaanya dalam perlindungan hak atas tanah bagi petani.

Undang-undang Pokok agraria tahun 1960 beridiri diatas konsep unifikasi hukum. Dimana dahulu terjadi dualisme hukum dalam pemberlakuan hukum tanah. Pemberlakuan hukum adat bagi orang-orang bumi putera dan pemberlakuan hukum barat bagi orang-orang eropa.

Hal tersebut tidak lain adalah sebuah politik pecah belah yang dilakukan oleh Belanda melalui regulasi Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) dan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling). Maka, dengan lahirnya UUPA hilanglah dualisme didalam pemberlakuan hukum tanah. Oleh karena itu, lahirnya UUPA adalah sebuah monumen kepastian hukum bagi petani dan merupakan kemajuan yang penting dalam rangka terpenuhinya hak-hak dasar dan menjadi sebuah titik balik memandang pentingnya petani bagi tonggak keberlangsungan hidup berbangsa yang adil dan makmur.

Semangat Perjuangan

Kelahiran UUPA membawa spirit perjuangan bahwa dahulu terjadi dominasi penguasaan atas tanah (sistem tuan tanah), namun dewasa ini dengan berlakunya UUPA maka hancurlah dominasi penguasaan atas tanah tersebut. Maka, konsep Reformasi agraria (land reform) adalah sebuah gagasan ideal dimana terjadi pemerataan hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kelahiran UUPA juga mentransformasikan segala bentuk hak atas tanah Belanda menjadi hak atas yang baru yang diatur didalam UUPA. Oleh karenanya nafas didalam hukum tanah yang awalnya bernafas kolonialisme bertransformasi menjadi nafas nasionalisme. Sehingga perjuangan atas kepemilikan tanah adat (hak ulayat) pun diakui dan dilindungi oleh Undang-undang ini.

Paradoksialitas

Namun bukan disana titik persoalannya. Undang - undang Pokok Agraria tahun 1960 adalah sebuah konsepsi ideal pemenuhan hak-hak atas tanah bagi petani, namun nyatanya hal tersebut berbanding terbalik dengan realita. Dimana dewasa ini masih banyak tuan tanah yang menguasai tanah-tanah dengan ratusan hektar padahal hal tersebut jelas melanggar aturan yang berlaku. Pada titik ini Reforma Agraria hanya menjadi sebuah jargon kosong karena terjadi inkonsistensi kebijakan. Dimana pemerintah menggalangkan program penyamarataan hak atas tanah (land reform), namun disisi lain mengeluarkan kebijakan pembangunan yang berorientasi kepada infratruktur berupa real estate, ritel, mall, jalan tol yang mengharuskan petani kehilangan lahan pencahariannya.

Dengan bersandar pada payung hukum Pasal 6 UUPA dimana " semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial" maka pengambilalihan tanah atas nama negara menjadi legal dan sah menurut hukum. Dengan mendompleng narasi-narasi moderenisasi maka keberatan-keberatan atas pembangunan menjadi dikesampingkan dan dengan mengambil narasai-narasi "demi kepentingan umum" maka perampasan tanah seolah menjadi hal yang lumrah dan bisa ditolelir. Maka, paradoksialitas kebijakan hari ini jelas terjadi. Masih membekas dalam ingatan kita kasus-kasus agraria yang terjadi di tamansari, kulon progo, kebon jeruk, dago elos dan lain sebagainya.

Hal ini menunjukan inkonsistensi kebijakan dalam dimensi agraria yang diberlakukan pemerintah. Permohonan izin atas pengguaan lahan berupa hak pakai, hak guna usaha dipersulit padahal itu adalah tanah milih negara, sedangkan izin mendirikan ritel, real estate dan bahkan jalan tol dipermudah izinnya. Bahkan, tidak jarang banyak lahan yang dimanipulasi sehingga terindikasi tindak pidana korupsi.

Freaming Politik
Belakangan kita mengetahui bahwa ada program pemerintah berupa bagi-bagi sertifikat kepada masyarakat. Maka seluruh BPN (Badan Pertanahan Nasional) berpacu dengan waktu untuk mensukseskan program tersebut. Namun, Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang bermuara nantinya pada bagi-bagi sertifikat nyatanya sangat kental dengan tendensi politik. Kegiatan bagi-bagi sertifikat dikemas sedemikian rupa sehingga harus mengumpulkan masyarakat banyak dan harus dihadiri presiden. Memang kegiatan tersebut cukup baik namun hal itu terlihat seperti kegiatan untuk mendongkrak popularitas penguasa di mata rakyat. Alih-alih pemerataan tanah yang dilakukan oleh pemerintah kalau dikomparasikan dengan total jumlah penduduk Indonesia maka bagi-bagi sertifikat itu tentu masik kurang efektif.

Hal ini disinyalir karena BPN bersifat pasif dalam melakukan pendataan, sehingga dengan sistem menunggu bola tentu akan sulit untuk mengkonfirmasi data sampai ke pelosok-plosok daerah. BPN pun mengalami kesulitan dalam mengurai ruwetnya permasalahan tanah di negeri ini. Namun, dengan kemasan yang bagus seolah seluruh rakyat Indonesia telah mendapatkan hak-haknya dengan adil. Maka tentu BPN kedepan harus bekerja dengan optimal agar bagi-bagi sertifikat tanah tidak hanya menjadi program seremonial saja yang kuat tendensi politiknya.

Oleh : Firman Hakim

Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah Badko HMI Jawa Barat

Editor: Aksara Jabar


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Arogansi dan Barbarianisme Politik

7 Oktober 2020, 15:01 WIB

42 Tahun FKPPI

14 September 2020, 14:05 WIB

Dilema Pembalajaran di Masa Pandemi

7 September 2020, 13:14 WIB

Begini Cara GPII Membumikan Pancasila

11 Agustus 2020, 16:39 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah