Pro Kontra Soal Pemutaran Film G 30 S PKI, Ini Kata Pakar Sejarah UGM

- 1 Oktober 2020, 09:24 WIB
Ratusan warga Pasirwangi antusias menyaksikan pemutaran film Si Doel The Movie yang diselenggarakan anggota Komisi X DPR RI dengan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.
Ratusan warga Pasirwangi antusias menyaksikan pemutaran film Si Doel The Movie yang diselenggarakan anggota Komisi X DPR RI dengan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI. /Kabar Priangan/Aep Hendy/

AKSARAJABAR- Film G 30 S PKI merupakan tayangan yang menceritakan kekejian PKI yang terajadi pada tanggal 30 September 1965.

Dikutip Aksara Jabar dari Antaranews Pakar Sejarah dari Universitas Gajah Mada (UGM) , Margana justru menyarankan kalangan milenial untun menonton film tersebut.

Menurutnya, film G30S/PKI bagi kalangan milenial itu belum pernah melihat film yang kerap dikritik mengandung sejumlah kebohongan dan propaganda ini.

Baca Juga: Sedang Berlangsung Berikut Link Live Streaming Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober

Dari situ masyarakat akan mengetahui mengapa terdapat pro dan kontra terhadapnya.


"Saya sarankan yang belum pernah nonton supaya menonton sebagai pengetahuan, menambah referensi cara berpikir sebelum bersikap," kata dia.

Margana menilai pemerintah tidak perlu mengeluarkan larangan bagi masyarakat untuk menonton film tersebut.

Sebaliknya, pemerintah juga diharapkan tidak menjadikan film itu sebagai tontonan wajib masyarakat.

"Kalau sampai diwajibkan maupun dilarang nonton itu tidak benar," kata dia.

Dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM ini menyampaikan bahwa penayangan film ini dihentikan sejak reformasi 1998.

Ia mengatakan sudah ada kajian-kajian yang mendasari penghentian terhadap film besutan sutradara Arifin C. Noer, salah satunya karena dinilai cacat fakta. Misalnya, soal kisah penyiksaan di luar batas kemanusiaan kepada para jenderal di Lubang Buaya.

Hasil visum yang dilakukan para dokter, kata dia, tidak terbukti ada penyiksaan, seperti pencungkilan mata, pemotongan alat kelamin, dan lainnya.

"Film ini terbukti cacat fakta yang sudah diakui oleh sutradaranya sendiri. Misalnya soal penyiksaan para jenderal sebelum dimasukkan di Lubang Buaya itu terbukti dari arsip-arsip visum tidak ada, hanya dramatisasi," kata dia.

Mengingat adanya unsur kekerasan dalam film G30S/PKI, Margana menekankan perlunya upaya sensor sebab berpeluang dilihat oleh anak-anak.

"Sebaiknya yang ada unsur kekerasan tidak perlu ditayangkan, lagi pula faktanya tidak ada
penyiksaan," kata dia.

Menurutnya, menjadikan peristiwa yang terjadi pada 1965 sebagai memori kolektif bangsa merupakan hal yang baik agar persitiwa serupa tidak terulang kembali. Namun dia meminta masyarakat untuk tidak mewariskan dendam masa lalu pada generasi berikutnya.

Sebab dalam persitiwa yang terjadi di tahun 1965 itu merupakan konflik antarkelompok politik. "Yang mengerikan itu hendak diwariskan pada semuanya yang tidak berkaitan dengan masalah itu. Jadi jangan wariskan dendam," tukasnya .***


Sumber : Antaranews

Editor: Iing Irwansyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x