AKSARA JABAR - Rakyat Indonesia memperingati Hari Pahlawan pada 10 November setiap tahunnya. Hari Pahlawan dicetuskan untuk mengenang jasa pahlawan-pahlawan kemerdekaan Indonesia.
Tentunya banyak pahlawan yang telah berjuang melawan penjajah. Baik mereka yang berjuang di garis depan maupun yang melawan melalui karyanya.
Kali ini, redaksi AksaraJabar mengangkat sosok Ismail Marzuki untuk memperingati Hari Pahlawan. Siapakah dia?
Baca Juga: Haedar Nashir: Hari Pahlawan Bukan Etalase Pidato Tanpa Makna
Ismail Marzuki adalah sosok yang senantiasa turut berjuang untuk Indonesia melalui karya-karyanya berupa lagu yang selalu bisa membangkitkan semangat nasionalisme.
Ismail Marzuki adalah seorang komponis asli Indonesia yang lahir di Kwitang, Batavia (kini Jakarta) pada 11 Mei 1914. Ismail Marzuki kerap disapa teman-teman di lingkungannya dengan sebutan Mail atau diplesetkan menjadi Maing.
Baca Juga: Roasting Anies Baswedan, Kiky Saputri Singgung Formula E Hingga Banyak Program Gak Selesai
Maing, memulai karir musiknya saat berusia 17 tahun dengan karya pertamanya yakni lagu yang berjudul ‘O Sarinah’ pada tahun 1931. Inti dari lagu tersebut adalah keadaan bangsa yang tertindas.
Selain menjadi pengarang lagu, Ismail Marzuki juga piawai dalam memainkan berbagai alat musik orkestra seperti gitar, saxophone dan harmonium pompa.
Awalnya, Ismail Marzuki dimasukan ke sekolah formal di HIS Idenburg Menteng. Namun ayahnya khawatir nantinya Ia bersifat kebelanda-belandaan, maka Ismail Marzuki dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang.
Tiap kali naik kelas Ismail Marzuki diberi hadiah harmonika, mandolin, dan gitar oleh Ayahnya. Setelah lulus, ia masuk sekolah MULO dan membentuk grup musik di sana.
Baca Juga: Peringati Hari Pahlawan, Sosok Ismail Marzuki Dijadikan Google Doodle
Di MULO, Ismail Marzuki memainkan alat musik banjo dan gemar memainkan lagu-lagu gaya Dixieland serta lagu-lagu Barat yang digandrungi pada masa itu.
Setelah tamat MULO, Ismail Marzuki bekerja di Socony Service Station sebagai kasir dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga dia sanggup menabung untuk membeli biola. Namun, pekerjaan sebagai kasir dirasakan kurang cocok baginya.
Ia kemudian pindah pekerjaan dengan gaji tidak tetap sebagai verkoper (penjual) piringan hitam produksi Columbia dan Polydor yang berkantor di Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Ir. H. Juanda) Jakarta.
Selama bekerja sebagai penjual piringan hitam, Ismail Marzuki banyak berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan penyanyi, di antaranya Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua Rachmat Kartolo).
Baca Juga: Mau Nonton WSBK 2021 di Mandalika? Ini Syaratnya: Wajib Vaksin dan Swab PCR, Umur Minimal 12 Tahun
Pada 1936, Ismail Marzuki memasuki perkumpulan orkes musik Lief Jawa sebagai pemain gitar, saksofon, dan harmonium pompa.
Tahun 1934, Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java mendapat kesempatan untuk mengisi acara siaran musik.
Tapi Ismail Marzuki mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu Barat, kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri antara lain “Ali Baba Rumba”, “Ohle le di Kotaraja”, dan “Ya Aini”.
Lagu ciptaannya kemudian direkam ke dalam piringan hitam di Singapura. Orkes musiknya punya sebuah lagu pembukaan yang mereka namakan Sweet Jaya Islander.
Namun, tanpa pemberitahuan maupun basa-basi lagunya dijadikan lagu pembuka untuk siaran radio NIROM. Hal itu pun sontak membuat Ismail Marzuki dan grup musiknya mengajukan protes, namun protes mereka tidak digubris direktur NIROM.
Pada masa awal Perang Dunia II, Radio NIROM mulai membatasi acara siaran musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di Betawi mulai membuat radio sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio Omroep (VORO) berlokasi di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri dari batang bambu.***