Begini Kiprah Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa, Bertekad Membela Tanah Air Sampai Mati

- 6 Juni 2022, 18:00 WIB
Pangeran Diponegoro dalam dua lukisan
Pangeran Diponegoro dalam dua lukisan /Nur Aliem Halvaima /Foto kolase : TokoLukisan.com / Istimewa / PosJakut

AKSARA JABAR - Pangeran Diponegoro lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta. Beliau adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo.

Pangeran Diponegoro dikenal secara luas karena memimpin Perang Diponegoro atau disebut sebagai Perang Jawa karena terjadi di tanah Jawa. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara.

Perang tersebut disebabkan Pangeran Diponegoro tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Selain itu, sejak tahun 1821 para petani lokal telah menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah yang dilakukan oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman.

Baca Juga: Gunung Api Ile Lewotolok NTT Alami Erupsi, Pendaki dan Masyarakat Diimbu Tak Lakukan Aktivitas

Baca Juga: Seberapa Penting Self Awareness dalam Mengambil Keputusan?

Baca Juga: Jadwal Acara TV besok Selasa, 7 Juni 2022: Trans Tv, SCTV, dan RCTI

Pada tanggal 6 Mei 1823, Van der Capellen mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa per 31 Januari 1824 semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, pada saat itu pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.

Kemudian, Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan cara membatalkan pajak Puasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.

Pangeran Diponegoro semakin kecewa ketika Patih Danurejo atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya. Beliau kemudian bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap perang.

Baca Juga: Ada Apa dengan Status Terakhir Rita Warintil Sebelum Meninggal Dunia

Baca Juga: Bacaan Doa Qunut Subuh Arab, Latin, Terjemahan Indonesia berserta Hukum dan Tata Cara Bacanya

Baca Juga: Rita Warintil Meninggal, Banjir Ucapan Duka dari 41.4K Pengguna Instagram

Pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda pada hari Rabu, 20 Juli 1825 untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah.

Pangeran Diponegoro dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos meskipun kediaman Pangeran Diponegoro jatuh dan dibakar. Hal itu terjadi karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.

Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, lalu meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.

Baca Juga: 5 Tempat Makan Murah Meriah di Surabaya Mulai Rp7.000

Baca Juga: 10 Tips Lolos PPDB Jabar 2022 dan PPDB Madrasah DKI Jakarta

Baca Juga: Idul Adha 2022 Berapa Hari Lagi? Catat Jadwal Lebaran Haji Menurut Muhammadiyah dan Pemerintah

Selanjutnya, Pangeran Diponegoro kemudian pindah ke Selarong, sebuah daerah berbukit-bukit yang dijadikan markas besarnya. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah gua yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya.

Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur, sedangkan Pangeran Diponegoro menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya.

Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun. Pangeran Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”; “sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati”.

Pangeran Diponegoro berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri. Selain itu, Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.

Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda.

Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Perang Diponegoro yang terjadi selama lima tahun (1825 – 1830) telah menelan korban tewas sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi.

Selain melawan Belanda, perang ini juga merupakan perang (sesama) saudara antara orang-orang keraton yang berpihak pada Diponegoro dan yang anti-Diponegoro (antek Belanda). Akhir perang ini menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.

Setelah perang Diponegoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti Wonogiri, karanganyar yang banyak dihuni oleh Warok.

Pangeran Diponegoro meninggal pada 8 Januari 1855 di Benteng Rotterdam setelah ditangkap dan diasingkan ke Makassar, yang sebelumnya dipindahkan dari pengasingannya di Manado.

Demikian kisah tentang Pangeran Diponegoro. Sikapnya yang gigih memperjuangkan tanah air menjadi teladan untuk kita semua. Untuk diingat, ada jenis perang yang tidak kalah membahayakan dengan perang fisik, yakni perang pemikiran.***

Editor: Igun Gunawan

Sumber: Kemdikbud


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah