AKSARA JABAR — Yayasan Teater Petra kembali menunjukkan tajinya dalam lanskap teater Indonesia. Dalam pementasan bertajuk Atas Nama Keadilan, naskah Les Justes karya filsuf Prancis Albert Camus dihidupkan selama dua jam di Teater Salihara, Jakarta pada Sabtu dan Minggu, 21-22 Juni 2025.
Dibungkus dalam konsep realisme yang kokoh, lakon ini tidak hanya menyuguhkan kompleksitas pemikiran revolusioner Rusia awal abad ke-20, tetapi juga menyoroti bagaimana tubuh-tubuh aktor Indonesia menjadi medan tafsir yang menggugah antara teks dunia dan pengalaman lokal.
Disutradarai oleh Sultan Mahadi Syarif, Atas Nama Keadilan mengajak penonton menelusuri pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mengakar dalam tubuh manusia: Apakah kekerasan bisa dibenarkan demi keadilan? Sejauh mana sebuah ide pantas diperjuangkan, bahkan dengan nyawa?
Camus, yang dikenal sebagai filsuf absurditas, tak menawarkan jawaban pasti. Demikian pula pertunjukan ini. Yang tersaji justru ketegangan tak henti antara keyakinan dan keraguan, antara idealisme dan realitas yang pahit. Namun kekuatan utama bukan semata pada teks Camus yang meletupkan ide besar, melainkan pada tubuh-tubuh para aktor yang menghidupkan teks itu dengan napas dan sejarah mereka sendiri.
Baca Juga:
Tubuh Lokal, Kegelisahan Global
“Tubuh kami memang bukan tubuh Rusia. Tapi kegelisahan terhadap kekuasaan, ketimpangan, dan absurditas hidup, itu sesuatu yang kami alami juga,” ujar Jembi, salah satu aktor, dalam diskusi pascapementasan.
Setiap aktor menampilkan kerja keaktoran yang tidak sekadar interpretatif, tetapi transformatif. Mereka tidak membaca peran, melainkan menjalaninya. Dayu Prisma sebagai Dora tampil memukau dalam mengartikulasikan luka batin dan cinta yang tak berpihak pada logika. Sementara Bayu Eka Prasetya sebagai Voinov memperlihatkan ambivalensi moral seorang revolusioner muda dengan intensitas yang konstan dan mendalam.