Tiga Puisi Iin Solihin

- 3 Januari 2020, 22:10 WIB
Lembah Para Dewa

Mandalawangi dan lembah para dewa
yang sedang rindu halimun pekat
yang sedang rindu padang subur
yang sedang rindu embun pagi
dan, yang sedang rindu bunga edellweis

datanglah kepadanya
takala surya sebelum pergi dari peraduannya
dan senja masih dalam garis jajarnya
niscaya mata takan lepas dari romansanya

Suryana Kencana… Mandalawangi
ada dingin yang menusuk tulang
ada wangi dan hamparan bunga abadi
ada gugusan lapisan dan jajaran gunung
Gede dan Pangrango

kini kami mengerti,
bagaimana kamu soe Hok Gie, dan sahabatmu
lama tak beranjak dari lembah ini
mengubah sepi menjadi puisi
kata menjadi karya
dan dikusi menjadi aksi

antara mandalawangi dan surya Kencana
diantara lembah-lembah para dewa
kami ingin kembali
lagi dan lagi
dalam sepi yang merubah rindu
dan angin yang mencipta dingin

 

Diambang Mati

Senja masih terpatri pada sore itu
Kegelisahan menjadi cakrawala
Kadung bulan menggantikannya
Pada bait-bait ini, aku hidup tapi tak hidup

Ketakutan ini menjadi sumber malapetaka
Takala bunga-bunga gugur
Musim kemarau tergantikannya
Lama dan hilang

Ingin rasanya kembali mengubah bentuk
menjadi suci seperti segumpal awan
tinggi, jauh dan meneduhkan
Melindungi orang-orang yang aku cintai
Menghilangkan bentuk-bentuk dilema ini
Lama dan abadi

telah sampai pada ujungnya
Masih bersama sendu dan sedan ini
Kini, Hampir tiba waktunya
Diambang hidup
Diantara mati

 

Pilihan untuk di Lahirkan

tak ada manusia
bernegosiasi dengan tuhannya
dilahirkan dalam bentuk terbaik
menurut kaumnya
pun tak ada manusia
merencanakan jalan hidupnya
sebelum terjun ke dunia
gemuk atau kurus
hitam atau putih
normal atau cacat
pun
kaya atau miskin
sehat atau berpenyakit
yang terpenting
bagaimana menjadikan hal buruk
mengubah bentuk menjadi hal baik
karena boleh jadi tak menentukan
dari rahim mana lahir
yang penting usaha dan kerja keras
mampu memperbaiki jika kurang
mampu mengubah jika stagnan
mampu melurusakan jika hilang arah
dan mampu bercahaya dari gelap
artinya
manusia dilahirkan sama
sebagai mahluk di dunia
tak ada batas apapun
stratifikasi dan diferensiasi adalah asumsi
yang membedakan
adalah penganut religinya masing-masing
dan itu baik adanya.

 

Tentang Iin Solihin

Lahir pada tanggal 23 Agustus 1992 di Kabupaten Subang Jawa Barat Indonesia. Anak tunggal dari pasangan petani ini tumbuh dan besar di kalangan masyarakat yang pekerja serabutan.

Keluarga yang sangat sederhana. Dari kecil tak pernah membayangkan untuk berpendidikan tinggi apalagi bercita-cita menjadi orang hebat. Apalah guna masyarakat kecil bemimpi terlalu tinggi. Namun semangatnya untuk belajar mengubahnya menjadi salah satu kebanggan keluarga.

Ketika berumur 6 tahun mulai bersekolah di SDN Negeri Budi Karya, setelah lulus melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama, tepatnya di SMP Negeri 3 Subang dan lulus tahun 2008. Setelahnya meneruskan di sekolah menengah atas di SMA Negeri 3 Subang dan lulus pada tahun 2011. Tak terpikir untuk melanjutkan perkuliah, namun kesempatan itu ada padanya hingga ia melanjutkan perkuliahan dengan bantuan beasiswa di STKIP Subang mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dari kampus inilah ia mengikuti pelbagai macam pengetahuan, baik berorganisasi maupun berwirausaha.

Badan eksekutif mahasiswa sampai UKM Kesenian ia ikuti. Hingga akhirnya, hasil dari usahanya membuahkan hasil. Ia menjadi salah satu wakil Kab.Subang untuk berkunjung ke negara gajah putih, Thailand. Setelah lulus dari STKIP Subang ia mengabdi di Sekolah menengah kejuruan Kesenian Subang dan Sekolah menengah kejuruan Bina Putra Subang. Di tahun 2016 melanjutkan pendidikannya di Universitas Pasundan Bandung mengambil jurusan Magister Bahasa Indonesia dan lulus di tahun 2019. Kini a fokus mengabdi di SMK Negeri 1 Subang.

 

Editor: Aksara Jabar


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Pemilu di Daerah

x