AKSARA JABAR - Gagasan untuk membentuk Dewan Kebudayaan yang terpusat kian mengemuka. Sejumlah kalangan menilai, kebudayaan nasional membutuhkan orkestrasi yang solid agar tidak tercerai-berai oleh kebijakan daerah yang tumpang tindih atau terlalu politis. Namun, apakah sentralisasi menjadi jawaban?
Kami berbincang dengan Bambang Pribadi, Ketua harian Dewan Kebudayaan Jakarta (DKJ), yang telah lebih dari dua dekade bergiat dalam lintas forum kebudayaan dan advokasi hak-hak seniman pada Minggu, 22 Juni 2025, sore hari di sebuah Kafe di Jakarta.
Baca Juga:
- Ketua DKJ Bambang Prihadi: Dewan Kesenian Bukan EO! Saatnya Bangun Badan Koordinasi Budaya Nasional
Apakah memungkinkan membentuk Dewan Kebudayaan yang terpusat secara nasional?
Saya kira secara struktur memungkinkan, secara ideologis kita juga sudah punya arah dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Tapi masalahnya bukan bisa atau tidak bisa. Pertanyaannya: perlu atau tidak perlu sentralisasi? Dan kalau perlu, apa urgensinya dan bagaimana mengaturnya tanpa membunuh keragaman lokal?
Bagaimana posisi Anda pribadi dalam hal ini?
Saya tak menolak gagasan sentralisasi, tapi saya lebih percaya pada kata “sinkronisasi.” Karena kalau bicara kebudayaan, kita sedang bicara tentang sesuatu yang hidup, kontekstual, dan cair. Sentralisasi bisa efektif dalam hal regulasi, pendataan, dan perlindungan. Tapi dalam hal ekspresi dan praktik budaya, dominasi pusat justru berpotensi mengerdilkan dinamika lokal.