AKSARA JABAR - Dalam khazanah kebudayaan Nusantara, tubuh bukan sekadar susunan daging dan tulang. Ia adalah teks yang bisa dibaca, ditafsirkan, dan sayangnya—juga disensor. Terutama tubuh-tubuh yang liyan.
Tubuh-tubuh yang tidak sesuai dengan pakem dua kutub: laki-laki dan perempuan. Salah satunya, tubuh transpuan. Dalam wawancara Aksara Jabar bersama AB Asmarandana, dosen Teater di FKIP Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya, pada 14 Juni 2025, tubuh ini disebut sebagai “tubuh yang tak lulus sensor”.
“Kadang tubuh hanya ingin menari, tapi dunia sibuk menanyakan jenis kelamin penarinya,” ujar Asmarandana.
Sejarah Nusantara sesungguhnya mengenal ragam rupa tubuh lebih dari yang dibayangkan oleh norma hari ini. Di Kesultanan Deli, Keraton Jawa, hingga ranah Bugis Makassar, tubuh-tubuh trans atau yang disebut sebagai kasim, bissu, calalai, dan calabai, pernah punya ruang. Mereka bahkan tak sekadar ditoleransi, tapi juga dirangkul, diberi peran sakral, dan dalam beberapa konteks, menjadi jembatan spiritual.
Baca Juga:
- Setetes Darah, Sejuta Budaya: 14 Juni dan Semangat Donor Darah di Tanah Nusantara
- Mengagetkan! Peran Liyan dalam Film Gowok: Kamasutra Jawa Diperankan oleh Transpuan Asli, Aldy Bisl
Bissu dan Kasim: Tafsir Spiritual dalam Tubuh Liyan
Dalam budaya Bugis, bissu bukan laki-laki atau perempuan, melainkan perpaduan dari keduanya. Mereka dipercaya sebagai perantara antara dunia manusia dan dewata, memainkan peran penting dalam ritual. Demikian juga kasim di lingkungan istana, yang justru diberi tanggung jawab mengasuh anak-anak bangsawan. Tubuh mereka dianggap aman dan suci, bebas dari “nafsu duniawi”.
“Di zaman dulu, transpuan bisa jadi pendoa. Di zaman sekarang, mereka jadi bahan doa orang-orang: agar ‘kembali normal’. Siapa yang sebenarnya perlu didoakan?” — Asmarandana